Ferdy Sambo Akan Dihukum Mati
Kekecewaan Keluarga Brigadir J
Sementara itu, Samuel Hutabarat, Ayah Brigadir Yosua, meminta MA menyampaikan alasan mengurangi seluruh hukuman keempat terdakwa pembunuh anaknya.
Suara.com - Beredar kabar bahwa Ferdy Sambo, terpidana mati kasus pembunuhan berencana Brigadir J, tidak terima mendapatkan vonis hukuman mati. Suami Putri Candrawathi itu bahkan disebut sampai mengamuk dan menembak Richard Eliezer alias Bharada E.
Narasi itu dibagikan oleh akun YouTube SukaGosip pada 12 Maret 2023 lalu. Dalam narasinya, akun ini mengunggah video berdurasi 4 menit yang menyebut bahwa Ferdy Sambo mengamuk karena divonis mati.
Selain itu, akun ini juga membagikan sampul video atau thumbnail dengan gambar ilustrasi Ferdy Sambo sedang memegang senjata api. Senpi itu diarahkan Ferdy Sambo ke arah Richard.
Adapun narasi yang dibagikan sebagai berikut:
Baca Juga: CEK FAKTA: Dianggap Kurang Sopan, Kapolri Seret Paksa Teddy Minahasa
“Kabar Duka, Ferdy Sambo Nekat Tak Mau Di Hukum Berat, Ferdy Sambo Sampai Lakukan Ini !”
Lantas benarkah klaim tersebut?
Berdasarkan penelusuran Turnbackhoax.id -- jaringan Suara.com, kabar Ferdy Sambo marah dan menembak Richard karena tidak terima mendapatkan hukuman mati adalah tidak benar.
Faktanya, isi video itu sama sekali tidak memberikan bukti maupun informasi kredibel terkait Ferdy Sambo mengamuk saat divonis mati. Sebaliknya, isi video justru berisi kilas balik kasus pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo dari awal sampai vonis mati.
Baca Juga: CEK FAKTA: Innalillahi Tukul Arwana Meninggal Dunia saat Dilarikan ke RS, Benarkah?
Selain itu, isi video dari awal sampai akhir, sama sekali tidak ada cuplikan maupun penjelasan narator terkait Ferdy Sambo melakukan penembakan terhadap Richard.
Dari penjelasan di atas, maka kabar Ferdy Sambo mengamuk dan menembak Richard Eliezer karena tidak terima mendapatkan hukuman mati adalah hoaks.
Narasi tersebut masuk ke dalam kategori informasi yang salah.
Potret Ferdy Sambo Saat Dijebloskan ke Lapas Salemba
Ferdy Sambo telah resmi dieksekusi ke Lapas Kelas IIA Salemba, Jakarta Pusat. Dia dijebloskan ke lapas untuk menjalani vonis hukuman seumur hidup penjara.
Umsida.ac.id – Kasus Ferdy Sambo yang divonis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (13/02/2023), dengan hukuman mati, masih memberikan celah hukum bagi mantan Jenderal Bintang Dua ini untuk lepas dari jeratan hukuman mati. Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) Emy Rosna Wati SH MH menjelaskan celah tersebut.
Seperti diketahui, bahwa Kasus Ferdy Sambo menjadi kasus yang ramai menjadi sorotan publik dalam dua tahun terakhir. Nama mantan Kadiv Propam Polri ini mencuat seiring kasus pembunuhan berencana kepada ajudannya Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Ferdy Sambo pun dinilai terbukti melakukan kejahatan pembunuhan berencana yang menewaskan Brigadir J. Brigadir J dieksekusi dengan menggunakan pistol Glock-19 saat Yosua di rumah dinas Duren Tiga Nomor 46 pada 8 Juli 2022.
Meski banyak yang merasa hukuman yang diterima Ferdy Sambo telah memenuhi rasa keadilan, namun masih ada celah hukuman mati tersebut tidak akan terealisasi.
Pasal 100 KUHP dinilai dapat menjadi jalan penghalang dilaksanakannya hukuman tertinggi bagi Ferdy Sambo. Hal ini karena terdapat ketentuan dalam pasal tersebut yang memberikan masa percobaan 10 tahun bagi terpidana untuk berbuat baik di penjara. Bila selama 10 tahun ia berbuat baik, hukumannya dapat diubah menjadi penjara seumur hidup.
Fenomena tersebut ditanggapi Dosen Hukum Pidana Umsida Emy Rosna Wati SH MH.
Dalam wawancara bersama Umsida.ac.id Emy Rosnawati menjelaskan bagaimana pengaruh pasal 100 KUHP pada hukuman mati Ferdy Sambo. Dosen hukum pidana Umsida itu menjelaskan bahwa KUHP yang baru tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Pasal ini jelas tidak dapat digunakan karena pasal KUHP tersebut baru mulai berlaku 3 tahun setelah diundangkan.
“KUHP baru tidak bisa diterapkan pada kasus Sambo. Karena perbuatan sambo terlebih dahulu dibanding disahkannya KUHP baru. Ini terkait dengan asas legalitas. Pidana mati untuk Sambo mengikuti KUHP yang lama. Karena selain perbuatannya terlebih dahulu dari pengesahan KUHP, KUHP itu baru mulai berlaku 3 tahun setelah diundangkan yaitu tahun 2026,” jelasnya
Selain memastikan bahwa KUHP tersebut tidak dapat digunakan dalam kasus ini. Umsida.ac.id juga menanyakan bagaimana pendapatnya sebagai Dosen Hukum Pidana mengenai pasal tersebut.
“Menurut saya pasal 100 KUHP baru ini pasal yang kurang tegas. Memang pasal ini merupakan berita gembira bagi yang kontra dengan pidana mati. Seolah olah hukuman mati sudah bukan hal yang menakutkan lagi dengan diaturnya pasal 100 KUHP Nasional. Namun menurut saya hukum tetap harus adil. Hukuman mati harus tetap ditegakkan jika kejahatan yang dilakukan sudah benar benar kejahatan yang berat,” terangnya.
Meskipun Emy Rosnawati memastikan hukuman mati Ferdy Sambo tidak terpengaruh oleh pasal tersebut, Emy tidak memungkiri bahwa Ferdy Sambo masih bisa memperjuangkan untuk mengurangi hukumannya menjadi penjara seumur hidup atau bahkan lebih ringan lagi.
“Jika sudah putusan pada pengadilan negeri terdakwa yang merasa keberatan bisa melakukan upaya banding. Nah, putusan banding ini bisa menguatkan putusan pengadilan negeri . Juga bisa merubah putusan pengadilan negeri. Jadi bisa jadi kalau putusannya mengubah putusan pengadilan negeri maka putusan itu pasti lebih meringankan . Karena hukuman mati adalah hukuman yang paling berat dibanding hukuman lain (seperti hukuman penjara ),” ungkapnya.
“Jika putusan banding sama dengan putusan pengadilan negeri, maka terdakwa masih punya hak melakukan upaya hukum kasasi. Dimana putusannya juga bisa menguatkan atau merubah. Setelah itu ada pula upaya hukum peninjauan kembali. Jika peninjauan kembali ditolak maka masih ada upaya hukum lagi yaitu mengajukan GRASI ke Presiden,” jelasnya.
Tentunya semua upaya hukum tersebut diatas sangat bisa memberikan celah untuk meringankan hukuman Ferdy Sambo.
Penulis: Rani Syahda Hanifa
Dikutip dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tercantum dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana mati atau hukuman mati merupakan salah satu jenis pidana pokok terberat disusul pidana penjara, kurungan, denda dan pidana tutupan.
Sesuai dengan Pasal 11 KUHP, pidana mati akan dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana. Selanjutnya papan tempat terpidana berdiri akan dijatuhkan.
Namun ketentuan Pasal 11 KUHP kemudian diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 02/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. Sesuai dengan Pasal 1 UU tersebut diatur bahwa pelaksanaan hukuman mati yang dijatuhkan Peradilan Umum maupun Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Kemudian pada ketentuan UU Nomor 02/Pnps/1964 ini disempurnakan dengan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Berikut ini beberapa sebab adanya hukuman mati yang diatur dalam KUHP:
Selain itu, aturan mengenai hukuman mati selain dalam KUHP juga diatur dalam peraturan lain seperti pada UU Narkotika, UU Terorisme dan UU Tindak Pidana Korupsi.
Tahapan pelaksanaan hukuman mati:
Sebelum pelaksanaan eksekusi, nantinya jaksa akan memberitahukan kepada terpidana mengenai rencana hukuman mati. Sesuai dengan UU Nomor 02/Pnps/1964 pemberitahuan ini dilakukan dalam waktu tiga kali 24 jam sebelum eksekusi.
Bagi terpidana yang hamil maka hukuman mati dilakukan 40 hari usai anaknya dilahirkan. Sebelum pelaksanaan eksekusi maka Kapolda akan membentuk regu tembak yang terdiri dari 1 Bintara, 12 Tamtama yang berada di bawah pimpinan seorang Perwira. Regu tembak berasal dari Korps Brigade Mobil atau Brimob.
Sesuai dengan Peraturan Kapolri Tahun 12 Tahun 2010, berikut ini proses pelaksanaan hukuman mati di Indonesia:
Jokowi mengatakan dirinya menghormati putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan kasasi vonis pidana mati yang diajukan Ferdy Sambo. Dia menekankan semua pihak harus menghormati putusan MA.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan bahwa hasil putusan Mahkamah Agung (MA) terkait kasasi vonis hukuman seumur hidup Ferdy Sambo sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama proses pengadilan berlangsung.
Majelis Hakim Agung merevisi hukuman Ferdy Sambo yang semula hukuman mati menjadi seumur hidup.
Kejaksaan Agung akan mempelajari putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah hukuman Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
Meski demikian Sobandi menjelaskan bahwa hukuman pidana penjara seumur hidup terhadap Ferdy Sambo telah berkekuatan hukum tetap.
Kamaruddin juga mengatakan bahwa pihaknya sudah menduga MA akan meringankan hukuman Ferdy Sambo karena adanya lobi politik.
Sobandi pun menyebutkan bahwa putusan MA yang mengabulkan kasasi Ferdy Sambo sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Menurut Sobandi, dua Majelis Anggota itu menolak kasasi Ferdy Sambo dan tetap pada putusan vonis hukuman mati.
Mahfud pun mengingatkan bahwa dirinya pernah memprediksi bahwa bisa saja hukuman Ferdy Sambo disunat menjadi seumur hidup.
Kepala Biro dan Humas MA Sobandi menyampaikan, ada dua hakim anggota yang melakukan dissenting opinion (DO) dalam sidang kasasi vonis hukuman mati Ferdy Sambo.
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai keputusan Mahkamah Agung (MA) membatalkan hukuman mati terdakwa kasus pembunuhan berencana, Ferdy Sambo, tidak mengagetkan.
Diketahui, kasasi MA memutuskan mengubah hukuman Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup.
Selain Ferdy Sambo, tiga terdakwa lain kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) juga mendapat keringanan hukuman.
Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dari 20 tahun menjadi 10 tahun.
Lalu Kuat Ma'ruf, dari 15 tahun menjadi 10 tahun.
Juga Ricky Rizal dari penjara 13 tahun menjadi 8 tahun.
"Keputusan MA ini sebenarnya sudah tidak mengagetkan lagi di publik. Pola-pola seperti ini sudah sering terjadi, bagaimana seorang elite entah di lembaga apapun di level tertinggi kemudian dianulir," ungkap Bambang dalam talkshow Overview Tribunnews, Kamis (10/8/2023).
Baca juga: Pakar Ingatkan Publik Hormati Putusan Ferdy Sambo
Menurutnya, publik sudah memprediksi hukuman Ferdy Sambo akan diperingan dalam tingkat tertentu.
"Tanpa ada pengawalan dari publik, vonis-vonis seperti ini sudah menjadi prediksi oleh publik," ujarnya.
Bambang mengatakan putusan MA jauh dari rasa keadilan.
"Ya, sangat jauh dari rasa keadilan, memang sejak awal kalau kita melihat, keputusan-keputusan hanya sekadar bombastis saja, mungkin hanya terkait dengan vonis pada Ferdy Sambo cs sangat tinggi, tapi sangat jauh berbeda dengan vonis yang diberikan Eliezer misalnya, padahal Eliezer terbukti pelaku penembakan."
"Makanya keputusan-keputusan sejak awal sudah sangat janggal, relatif memunculkan spekulasi ada skenario-skenario lain di luar kepentingan hukum."
"Dan ini sangat mencederai rasa keadilan," ujar Bambang.
Baca juga: Eks Kabareskrim Yakin Ada Main di Balik Putusan MA Sunat Hukuman Ferdy Sambo Cs, Ini Alasannya